Berbeda dengan puskesmas pada umumnya, Puskesmas Licin yang berada di bawah kaki gunung Ijen mempunyai keistimewaan karena memiliki layanan kesehatan jiwa.
Sejumlah pasien gangguan jiwa dirawat di dua bangsal yang berbeda. Satu bangsal khusus untuk perawatan intensif dan satu bangsal untuk perawatan jalan.
"Untuk bangsal perawatan insentif saat ini ada 5 pasien biasanya untuk yang baru datang dan susah di kendalikan. Ada juga beberapa pengguna narkoba," ujar Kholid, Kepala Puskesmas Licin.
Di bangsal perawatan insentif ini, satu pasien ditempatkan di satu ruangan dengan kamar mandi dalam, sedangkan bangsal yang digunakan untuk rawat jalan bisa menampung hingga 30 orang dan ruangan terpisah antar ruang laki-laki dan perempuan.
Kholid menuturkan, bangunan tersebut didirikan pada tahun 2003 dan awalnya digunakan untuk Pusat Kesehatan Jiwa masyarakat dan Klinik Ketergantungan Obat hingga tahun 2014. Namun, jumlah pasien yang dilayani tidak begitu banyak padahal fasilitas dan bangunan sangat memadai.
Hingga akhirnya pada Agustus 2014, Pusat Kesehatan Jiwa masyarakat dan Klinik Ketergantungan Obat tersebut dijadikan satu dengan Puskesmas Licin.
"Selain pasien umum kami juga menerima pasien yang mengalami gangguan jiwa bukan hanya Banyuwangi tapi juga dari Situbondo, Bondowoso bahkan ada yang dari Pasuruan," kata Kholid.
Mereka yang menjalani rehabilitasi penyalahgunaan narkoba rata-rata mengonsumsi pil dextro. Untuk mendukung pengobatan pasien, disediakan konsultan psikiater dari RSUD Blambangan yang praktek setiap hari Rabu di Puskesmas Licin.
Jika tidak memungkinkan dirawat di Puskesmas maka akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa yang lebih lengkap seperti Rumah Sakit Jiwa Lawang Malang.
Saat ditanya berapa lama pasien direhabilitasi, lelaki yang memiliki latar belakang perawat jiwa ini menjawab tidak bisa dipastikan karena menyesuaikan dengan efek pengaruh obat yang dikonsumsi.
"Tapi ada juga yang diambil oleh keluarga kalau sudah terlihat agak enakan padahal masih belum selesai pengobatannya," ucapnya.
Sementara itu, Dani, perawat yang bertugas di bangsal perawatan jalan kesehatan jiwa, mengaku menemui banyak karakter pasien yang berbeda. Ada yang pemurung, ada juga yang agresif.
Permasalahan mereka juga berbeda mulai dari stres karena tekanan keluarga, atau terlibat kasus pembunuhan atau narkoba.
Pada bulan Juni 2016 lalu, Dani mengaku pernah menangani pasien sampai 15 orang secara bergantian dengan perawat lainnya. Ada shift yang diberlakukan agar para pasien bisa diawasi secara maksimal selama 24 jam.
"Ada pasien sini yang masuk usiannya masih 10 tahun. Ada juga yang usianya sudah sepuh 86 tahun seperti bapak itu dia pernah membunuh seorang anak di wilayahnya," sambil menunjuk laki-laki tua berambut putih yang sedang duduk di kursi depan bangsal.
Dani mengatakan setiap pagi pasien gangguan jiwa tersebut diperbolehkan keluar dan beraktivitas di luar bangsal.
"Walau di luar mereka tetap dalam pengawasan. Ini juga bagian dari pengobatan agar mereka bisa cepat bersosialisasi," ucap Dani. (Kompas.com)
Sejumlah pasien gangguan jiwa dirawat di dua bangsal yang berbeda. Satu bangsal khusus untuk perawatan intensif dan satu bangsal untuk perawatan jalan.
"Untuk bangsal perawatan insentif saat ini ada 5 pasien biasanya untuk yang baru datang dan susah di kendalikan. Ada juga beberapa pengguna narkoba," ujar Kholid, Kepala Puskesmas Licin.
Di bangsal perawatan insentif ini, satu pasien ditempatkan di satu ruangan dengan kamar mandi dalam, sedangkan bangsal yang digunakan untuk rawat jalan bisa menampung hingga 30 orang dan ruangan terpisah antar ruang laki-laki dan perempuan.
Kholid menuturkan, bangunan tersebut didirikan pada tahun 2003 dan awalnya digunakan untuk Pusat Kesehatan Jiwa masyarakat dan Klinik Ketergantungan Obat hingga tahun 2014. Namun, jumlah pasien yang dilayani tidak begitu banyak padahal fasilitas dan bangunan sangat memadai.
Hingga akhirnya pada Agustus 2014, Pusat Kesehatan Jiwa masyarakat dan Klinik Ketergantungan Obat tersebut dijadikan satu dengan Puskesmas Licin.
"Selain pasien umum kami juga menerima pasien yang mengalami gangguan jiwa bukan hanya Banyuwangi tapi juga dari Situbondo, Bondowoso bahkan ada yang dari Pasuruan," kata Kholid.
Mereka yang menjalani rehabilitasi penyalahgunaan narkoba rata-rata mengonsumsi pil dextro. Untuk mendukung pengobatan pasien, disediakan konsultan psikiater dari RSUD Blambangan yang praktek setiap hari Rabu di Puskesmas Licin.
Jika tidak memungkinkan dirawat di Puskesmas maka akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa yang lebih lengkap seperti Rumah Sakit Jiwa Lawang Malang.
Saat ditanya berapa lama pasien direhabilitasi, lelaki yang memiliki latar belakang perawat jiwa ini menjawab tidak bisa dipastikan karena menyesuaikan dengan efek pengaruh obat yang dikonsumsi.
"Tapi ada juga yang diambil oleh keluarga kalau sudah terlihat agak enakan padahal masih belum selesai pengobatannya," ucapnya.
Sementara itu, Dani, perawat yang bertugas di bangsal perawatan jalan kesehatan jiwa, mengaku menemui banyak karakter pasien yang berbeda. Ada yang pemurung, ada juga yang agresif.
Permasalahan mereka juga berbeda mulai dari stres karena tekanan keluarga, atau terlibat kasus pembunuhan atau narkoba.
Pada bulan Juni 2016 lalu, Dani mengaku pernah menangani pasien sampai 15 orang secara bergantian dengan perawat lainnya. Ada shift yang diberlakukan agar para pasien bisa diawasi secara maksimal selama 24 jam.
"Ada pasien sini yang masuk usiannya masih 10 tahun. Ada juga yang usianya sudah sepuh 86 tahun seperti bapak itu dia pernah membunuh seorang anak di wilayahnya," sambil menunjuk laki-laki tua berambut putih yang sedang duduk di kursi depan bangsal.
Dani mengatakan setiap pagi pasien gangguan jiwa tersebut diperbolehkan keluar dan beraktivitas di luar bangsal.
"Walau di luar mereka tetap dalam pengawasan. Ini juga bagian dari pengobatan agar mereka bisa cepat bersosialisasi," ucap Dani. (Kompas.com)
Mohon dilampirkan harga harian atau bulanan secara rinci
BalasHapus